Mengikuti kemajuan dan tuntutan masyarakat akan pelayanan di bidang farmasi, maka pada tahun 1996, pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan RI, menerbitkan aturan untuk pendirian Akademi Analis Farmasi dan Makanan. Disusul tahun 1997, untuk Akademi Farmasi. Dengan aturan ini, diharapkan SMF-SMF yang ada harus segera dikonversikan menjadi salah satu dari dua akademi di atas.
Pengkonversian di atas bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan di bidang farmasi. Seiring dengan percepatan kemajuan ilmu pengetahuan, maka disiplin ilmu farmasi juga mengalami kemajuan yang luar biasa. Selain muncul merek-merek obat baru, juga banyak ditemukan jenis-jenis produk farmasi baru. Di sisi lain, tingkat pendidikan masyarakat secara umum juga mengalami peningkatan yang tidak ada bandingya dengan masa sebelumnya. Masyarakat yang relatif literated ini tentu tidak lagi memadai jika hanya dilayani oleh tingkat SLTA (SMF) saja.
Dua kecenderungan di atas, melahirkan sebuah kesimpulan bahwa tantangan yang demikian berat tidak mungkin mampu dipikul oleh lulusan SLTA (SMF). Diperlukan tenaga yang lebih handal dan lebih matang dari segi usia, pengetahuan, dan ketrampilan. Maka tidak ada jalan lain kecuali menempatkan tenaga setingkat Diploma III untuk menjadi Asisten Apoteker, yang sebelumnya “dijabat” oleh lulusan SMF.
Niatan pemerintah untuk meningkatkan SDM di kefarmasian ini, tampaknya tidak main-main. Beberapa langkah yang mendukung kebijakan ini telah diambil. Sebagai misal, di instalasi farmasi rumah sakit. Tingkat akreditasi sebuah rumah sakit akan lebih baik bilamana tenaga asisten apotekernya adalah lulusan Diploma III, dibandingkan jika asisten apotekernya lulusan SMF.
Di samping itu, di dorong oleh tingkat kesadaran masyarakat yang makin meningkat, pemerintah menghimbau kepada apotek-apotek untuk memberikan layanan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat mengenai kefarmasian. Jadi, apotek tidak lagi sekedar penerima resep dokter dan penjual obat saja. Dia juga harus memberi informasi dan edukasi kepada masyarakat konsumen.
Tugas memberi layanan KIE ini tampaknya sebagai keharusan untuk saat ini. Dewasa ini perkembangan di bidang farmasi sangat luar biasa. Obat-obat baru, baik merek maupun jenisnya, bermunculan. Sementara, masyarakat kita sangat awam di bidang ini. Maka tak heran jika mereka sering menjadi “korban” akibat keawaman mereka. Sudah menjadi rahasia umum, jika para pasien sering “diplokotho” dokter-dokter yang tidak mengenal belas kasihan. Para pasien “diharuskan” membeli resep-resep mahal tanpa mereka bisa berdaya. Padahal, andaikata mereka mengerti, mereka bisa membeli obat sejenis dengan harga jauh lebih murah dan berkhasiat sama. Bahkan lebih mengenaskan lagi, para pasien terkadang diharuskan membeli obat yang sebetulnya tidak begitu mereka perlukan.
Hal seperti itu tidak akan terjadi bilamana apotek benar-benar melaksanakan pelayanan KIE ini. Jika timbul masalah-masalah yang berkenaan dengan obat-obatan, apotek mestinya bisa menjadi tempat konsultasi bagi para pasien tadi. Di negara-negara yang sudah maju, seperti di Singapura, para pasien bahkan bisa langsung berkonsultasi dengan apoteker di apotek mengenai obat-obatan yang dibutuhkan bagi mereka yang telah memahami penyakitnya. Hal ini bisa terjadi jikalau para apoteker aktif berada di apotek. Namun oleh karena kebanyakan sang apoteker jarang hadir diapotek, maka mustahil bagi masyarakat memperoleh layanan KIE ini.
Akibat ketidak-hadiran apoteker di apotek, apotek biasanya hanya “ditunggui” oleh tenaga asisten apoteker lulusan SLTA saja. Padahal, tidak mungkin layanan tersebut dilimpahkan kepada mereka. Karena dari segi pendidikan, mereka tidak disiapkan untuk tugas ini. Kalau toh harus dipaksa, hasilnya tentu tidak akan maksimal.
Pada “celah” ini barangkali para ahli madya farmasi bisa mengambil peran yang tepat. Selain dari segi usia bisa dianggap cukup, dari segi pendidikan mereka juga memperoleh materi-materi kuliah yang relevan dengan tugas tersebut.
Pada dunia industri farmasi, ada sisi menarik yang perlu dilirik. Dewasa ini, saat perekonomian bangsa berada pada titik morat-marit, pemerintah menggalakkan obat-obatan tradisional. Selain harganya murah, efek sampingnya pun minimal. Tak pelak, himbaun ini disambut hangat kalangan industriawan. Dalam waktu relatif singkat, sudah ribuan industri obat tradisional muncul. Ini tentu merupakan fenomena yang melegakan.
Namun dibalik fenomena itu, ada sesuatu yang memprihatinkan. Dari sekian ribu industri obat tradisional yang ada, hanya segelintir saja yang benar-benar dikelola secara profesional dan memenuhi kaidah-kaidah kefarmasian. Sisanya, terdiri atas industri-industri kecil, bahkan home industri, yang ditangani oleh orang-orang yang awam di bidang kefarmasian.
Masih segar dalam ingatan kita, betapa beberapa waktu lalu terjadi “pembredelan” terhadap industri-industri jamu yang melakukan “kecurangan”. Untuk memperoleh khasiat yang ampuh, mereka tak segan mencampurkan obat-obatan yang justru berbahaya jika dipakai tidak semestinya, misalnya dextamethason.
Hal semacam itu tidak akan terjadi andaikata ada apoteker di sana. Apoteker ini akan mengelola proses produksi dengan baik sekaligus menangani kontrol kualitasnya. Namun sayang seribu sayang, tidak banyak apoteker yang tertarik berkecimpung di bidang ini. Kita belum bisa menebak penyebabnya secara pasti; apakah dari kalangan industri atau dari pihak apotekernya. Artinya, apakah kalangan industri kecil ini yang merasa “masih belum mampu” menggunakan apoteker atau malah apotekernya yang memang enggan wal gengsi terjun di bidang ini.
Apapun penyebabnya, yang pertama kali dirugikan adalah masyarakat konsumen. Apabila proses pembuatan produk obat tradisional ini tidak benar secara farmasi, maka tentu akan membawa side efect bagi usernya. Selain itu, dengan tidak dikelola oleh ahlinya, maka dalam jangka panjang, akan sulit bagi industri-industri ini untuk bisa berkembang dengan baik. Realitas ini, jika dicermati dengan sungguh-sungguh, sesungguhnya memberi kesempatan dan peluang bagi para ahli madya farmasi untuk mengambil tempat dan peran sebaik mungkin. Ditinjau dari pihak industriawan, gaji mereka tentu masih berada di bawah apoteker, sehingga tidak terlalu memberatkan bagi industri-industri kecil yang baru berkembang.
Wadah Perjuangan
Di Indonesia, eksistensi ahli madya farmasi ini masih relatif baru. Karena, akademinya saja baru muncul sekitar 1996/1997. Belum banyak lulusan yang dihasilkan. Karenanya, bukan hal aneh jika para user tidak banyak melirik keberadaan mereka. Artinya, sebagai tenaga ahli madya, orang belum tahu sampai seberapa jauh kompetensi mereka, lalu bisa didaya-gunakan dimana mereka ini, bahkan mungkin para user tidak mengetahui kalau mereka ada.
Satu hal lagi yang perlu dipahami bersama, meski memberi dukungan seperti dijelaskan di atas, pemerintah “belum berani secara tegas” memaksa SMF-SMF mengkonversikan diri menjadi akademi. Hal ini mengakibatkan posisi ahli madya farmasi maupun analis farmasi dan makanan memang berada dalam keadaan “terjepit”. Ia harus berjuang mendapatkan pekerjaan di antara dua kalangan yang memiliki “wilayah” kerja yang sama, yakni lulusan SMF dan sarjana farmasi atau apoteker yang telah sangat di kenal masyarakat.
Untuk memantapkan keberadaan mereka di arena bursa kerja dan “merebut” wilayah-wilayah kerja yang dimungkinkan menjadi “hak” mereka, tentu tidak bisa diperjuangkan secara perorangan. Mereka harus bekerja bersama-sama bahu membahu. Untuk itu diperlukan wadah ikatan profesi bagi mereka. Apapun namanya, yang jelas wadah tersebut harus mampu mewadahi kedua profesi, yakni ahli madya farmasi dan ahli madya analis farmasi dan makanan. Melalui wadah ini, dimungkinkan perjuangan mereka menjadi jelas dan tegas.
Dengan wadah ini, masyarakat akan segera mengetahui dan mempercayai keberadaan mereka. Selain itu, sebagai wadah para profesional di bidang farmasi, ikatan profesi ini akan mewadahi para anggotanya untuk terus-menerus meningkatkan diri dalam mengikuti perkembangan di bidang ilmu farmasi.
http://rohadieducation.wordpress.com/2007/06/16/ikatan-profesi-ahli-madya-farmasi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar