BY YUSMAINITA
Pendahuluan
Menyongsong AFTA 2003 dan diberlakukannya UU RI No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan berkembangnya iptek serta pelayanan rumah sakit yang semakin kompleks, rumah sakit harus dimasuki unsur hukum untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban, tanggung jawab, serta risiko rumah sakit. Dengan demikian, rumah sakit dapat mengadakan transaksi seperti lazimnya sebuah lembaga usaha (membuat perjanjian jual beli, mempunyai rekening bank, melakukan penagihan, dan sebagainya). Sampai di mana tanggung jawab rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan? Peralatan apa yang minimal harus ada di bagian-bagian tertentu di rumah sakit?
Menurut literatur, hampir 80% dari kasus tuntutan malpraktik terjadi di rumah sakit. Bila ada tuntutan mengenai kejadian di rumah sakit, siapa yang harus dituntut? Dokternya, perawatnya, atau farmasisnya. Seberapa jauh rumah sakit bertanggung jawab secara perdata? Diperlukan suatu pengaturan dan peraturan yang jelas mengenai tanggung jawab masing-masing profesi yang terlibat perawatan pasien. Misalnya dokter, perawat, farmasis, dan ahli gizi.
Seandainya seorang pasien yang keracunan obat diduga akibat
pemakaian obat yang terlalu lama (terkumulasi) sementara efek samping obat tersebut lambat (delay) sehingga meninggal, siapakah yang bertanggung jawab? Apakah dokter saja atau dokter dan farmasis? Apakah wajar saat ini hal tersebut dituntut ke farmasis sementara peran farmasis di rumah sakit cenderung hanya menangani hal-hal yang bersifat administrasi dan manajemen barang/perbekalan. Farmasis sangat jarang dilibatkan dalam melayani/merawat pasien di ward/ruangan (farmasi klinik).
Latar Belakang
Hubungan hukum antar tenaga kesehatan (apoteker, dokter) menjadi perbincangan setelah dikeluarkan UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Secara rinci, UU Perlindungan Konsumen memberikan pengaturan tentang hak serta kewajiban, baik bagi pemberi jasa maupun pengguna jasa. Dengan demikian, perlu dilakukan pengkajian terhadap pemberi jasa di bidang kesehatan/farmasis, karena sifatnya khusus dan teknis serta tidak dapat diketahui oleh sembarang orang. Memamg, dalam dunia kesehatan terdapat standar profesi. Akan tetapi, tentunya setiap individu mempunyai kekhususan. Hal inilah yang menyebabkan adanya kekhususan terhadap hubungan antara pemberi jasa kesehatan dengan pengguna jasa. Demikian pula terhadap pemberi jasa di rumah sakit.
Meskipun tujuan pemberian jasa sama, yakni berusaha melakukan tindakan sebaik-baiknya untuk menyembuhkan pengguna jasa, namun setiap rumah sakit mempunyai standar yang berbeda. Sekalipun pelayanan kesehatan mempunyai kekhususan, harus ada ukuran rata-rata, termasuk pelayanan di rumah sakit. Peranan farmasis pada masa mendatang tidak lagi cukup dengan mengelola obat sebagai barang, melainkan harus pula ikut berperan aktif dalam proses sakit dan sembuh pasien, melalui kompetisi profesional dalam proses kefarmasian Ahaditomo (1991). Hepler dan Strand (1990) dalam tulisannya yang berjudul "Opportunities and Responsibilities in Pharmaceutical Care" mendiskusikan manfaat profesi farmasis untuk menurunkan Drug Related Morbidity and Mortality (DRMM). Mereka mengemukakan bahwa ada 3 periode perkembangan farmasi, yaitu: a. Tradisional, dimana farmasis menyediakan, membuat, dan mengevaluasi produk. b. Transisi, pelayanan farmasi klinik dikembangkan (inilah yang sedang dikembangkan rumah sakit di Indonesia dalam rangka perlindungan konsumen/pasien).
c. Rawatan pasien (terjadi perubahan dari orientasi obat ke pasien). Jadi, pada periode terakhir pasien merupakan objek yang terkait dengan penurunan angka kelahiran dan kematian yang dikaitkan dengan obat. Selanjutnya, Hepler dan Strand menyatakan bahwa tanggung jawab profesi farmasi dalam terapi obat dengan tujuan mencapai hasil yang baik dan memperbaiki kulaitas hidup pasien diberi nama "Asuhan Kefarmasian" (Low, 1996).
Berlakunya UU Negara No. 8 tahun 1999 dan berkembangnya pelayanan farmasi yang mengarah pada asuhan kefarmasian (farmasi klinik), merupakan peluang dan tantangan untuk farmasis di Indonesia. UU ini menjadi peluang bagi farmasis untuk menunjukkan eksistensinya di bidang profesi kefarmasian karena selama ini peran tenaga farmasis lebih banyak sebagai tenaga manajemen. Namun, UU ini juga sekaligus menjadi tantangan karena perlu banyak belajar lagi akibat kurangnya kesipan para farmasis, yang dilatarbelakangi oleh sistem pendidikan apoteker di Indonesia yang sangat minim mengarah pada farmasi klinik. Selain itu, juga keengganan para farmasis menambah ilmu di bidang farmasi klinik karena peran farmasis di rumah sakit hanya menyediakan, membuat, dan mengevaluasi produk. Mereka kurang berperan dalam monitoring penggunaan obat di ward/ruangan. Bila bekerja di apotek (swasta) mereka sebagai Apoteker Pengelola Apotik (APA). Kehadirannya di apotek untuk memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kepada pasien, cukup rendah. Beban dan tanggung jawab ini banyak dilaksanankan oleh asisten apoteker atau PSA (Pemilik Sarana Apotek), kecuali PSA adalah apoteker yang bersangkutan. Hal itu tidak memacu apoteker untuk mendalami bidang farmasi klinik.
Di samping itu, tarif jasa pelayanan visite farmasi/konsultasi farmasi di rumah sakit masih dalam perjuangan untuk masuk dalam tarif Perda. Penghargaan dari pelayanan farmasis secara umum di Indonesia masih sebatas pada jasa manajerial dan teknis kefarmasian (peracikan obat), belum pada profesi kefarmasian/farmasi klinik.
Hukum Rumah Sakit (Hospital Low)
Rumah sakit sebagai unit pelayanan kesehatan banyak mempekerjakan SDM (medik, para medik, administrasi, dan teknis). Semuanya bertanggung jawab kepada atasannya. Sebaliknya, rumah sakit secara yuridis pun harus mempertanggungjawabkan sikap/tindakan semua orang yang turut terlibat dalam organisasi rumah sakit. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1367 yang berbunyi: "Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatan sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya....". Tanggung jawab rumah sakit dalam garis besarnya dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Yang menyangkut personalia, termasuk sikap-tindak atau kelalaian semua orang yang terlibat dalam kegiatan rumah sakit. 2. Yang menyangkut mutu pemberian pelayanan kesehatan (Standard of Care) di rumah sakit. 3. Yang menyangkut sarana dan peralatan yang disediakan, baik di bidang medis maupun non-medis.
Dalam pelayanan, masih ada faktor X yang tidak dapat diperhitungkan atau diduga sebelumnya, yaitu berbentuk bahaya atau risiko yang selalu melekat pada setiap tindakkan medik dan pengobatan. Walaupun sudah dilakukan dengan teliti dan hati-hati, tetapi karena daya tahan atau kondisi tubuh pasien tidak sama maka bisa timbul komplikasi. Untuk itu, diperlukan kriteria yang objektif berbentuk standar untuk menilai kasus yang terjadi. "Klausula baku" adalah istilah yang digunakan oleh UU No. 8 tahun 1999 terhadap standar pelayanan atau pemberi jasa. Dalam memberikan pelayanan jasa di bidang kesehatan, harus diciptakan klausula baku oleh kalangan pemberi jasa kesehatan. Artinya, ada standar baku yang diciptakan oleh para pemberi jasa di bidang kesehatan. Dengan demikian, apabila ada tuntutan konsumen mengenai suatu pelanggaran, terlebih dahulu harus ditentukan oleh para ahli di bidang kesehatan, yaitu Majelis Pertimbang Profesi. Majelis ini memberi pertimbangan apakah pemberi jasa kesehatan tersebut sudah melakukan kesalahan, khususnya melanggar klausula baku. Bila sudah dilakukan dengan hati-hati dan teliti serta berdasarkan standar profesi maka apapun hasilnya, tenaga kesehatan dan rumah sakit tidak dapat dipersalahkan. Inilah kekhususan hubungan antara pemberi jasa dengan pengguna jasa di bidang kesehatan. Hal ini tidak akan sama dengan hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha lain. Menurut hukum kedokteran, ada 4 bentuk risiko yang harus ditanggung oleh pasien itu sendiri, yaitu:
1. Kecelakaan (accident, mishap, mischance, misad venture)
2. Risiko pengobatan (risk of treatment)
3. Kesalahan penilaian profesional (error of clinical judgment)
4. Kelalaian pasien (contributory negligence)
Undang-Unndang Konsumen
Beberapa pasal UU Negara No. 8 RI yang erat hubungannya mengenai perlindungan konsumen/pasien dan pemberi jasa (Hak dan Kewajiban)
BAB I; Pasal 1
1. Perlindungan konsumen/pasien adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
2. Konsumen/pasien adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen/pasien.
BAB II; Pasal 2
· Perlindungan konsumen/pasien berasas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.
BAB III; Pasal 3
Perlindungan konsumen/pasien bertujuan:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
3. Mengingkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
BAB III; Pasal 4
Hak dan kewajiban konsumen/pasien
Hak konsumen adalah:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
2. Hak untuk memilih barang dan/atas jasa serta mendapat barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang diperjanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/atau jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atau barang dan/atau jasa yang digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
BAB III; Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah:
Memberi informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
BAB III; Pasal 8
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan rusak, cacat atau bekas dan tercemar dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
BAB III; Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan, diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat, pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
1. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa
2. Kegunaan barang dan/atau jasa
3. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan atau jasa.
BAB III; Pasal 13
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan atau jasa lain.
BAB V
Ketentuan pencatuman klausa baku
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan Klausula Baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakkan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan Klausula Baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
3. Setiap Klausula Baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan Klausula Baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
Asuhan Kefarmasian
Perkembangan farmasi di rumah sakit Indonesia berjalan lambat dibanding pelayanan kesehatan lainnya, seperti pelayanan medik, perawatan, dan gizi. Farmasi lebih terlihat sebagai proses penyediaan obat sebagai barang daripada sebagai suatu pelayanan profesional. Akan tetapi, sebenarnya intervensi farmasi merupakan bagian dari proses medik (Ahaditomo 1991). Rumusan obat bagi penderita bukan lagi ada atau tidak adanya semacam obat, melainkan juga perlu diketahui apakah obat telah dipilih secara tepat indikasi, tepat dosis, tepat pasien, tepat pemberian, bebas dari interaksi obat yang berbahaya, efek samping obat terkendali, dan tepat harga, terutama bagi penderita yang kemampuan ekonominya rendah (Ahaditomo, 1991).
Asuhan kefarmasian merupakan istilah baru yang kita kenal akhir-akhir ini. Konsep asuhan kefarmasian menjadi penting karena meningkatnya biaya kesehatan dan adverse drug reactions dari obat-obat yang diresepkan. Obat menjadi lebih mahal, penggunaannya meningkat, biaya kesalahan penggunaan obat (drug misuse) meningkat, dan efek samping obat/kesalahan obat (adverse event drug misadventure) (Llyoid, 1996). Dalam etika profesi farmasi, para farmasis mempunyai kewajiban untuk melindungi pasien dari kerugiann akibat kecelakaan pemakaian obat yang merugikan. Asuhan kefarmasian adalah konsep yang melibatkan tanggung jawab farmasis yang dapat menjamin terapi optimal terhadap pasien secara individu sehingga pasien membaik dan kualitas hidupnya meningkat. Peran farmasis dalam asuhan kefarmasian di awal proses terapi adalah menilai kebutuhan pasien. Di tengah proses terapi, mereka memeriksa kembali semua informasi dan memilih solusi terbaik bagi DRP (Drug Related Problem) pasien. Di akhir proses terapi, mereka menilai hasil intervensi farmasis sehingga didapatkan hasil optimal dan kualitas hidup meningkat serta hasilnya memuaskan.
Tanggung jawab farmasis mirip dengan tanggung jawab profesi kesehatan lainnya, terutama dokter dan perawat yang langsung berhubungan dengan penderita. Tanggung jawab profesi dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu tanggung jawab sosial, tanggung jawab profesional, dan tanggung jawab terhadap penderita dengan meningkatkan asuhan kefarmasian. Tanggung jawab terhadap pasien adalah utama dan perlu dilakukan secara individu, bukan berarti tanggung jawab lainnya tidak penting.
Fungsi utama dari Asuhan kefarmasian:
1. Identifikasi aktual dan potensial masalah yang berhubungan dengan obat.
2. Menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan obat.
3. Mencegah terjadinya masalah yang berhubungan dengan obat.
4. Implementasi dari asuhan kefarmasian di rumah sakit dapat dilakukan pada pasien rawat jalan melalui informasi, konseling, dan edukasi untuk obat bebas dan obat yang diresepkan, pemberian label, leaflet, brosur, buku edukasi, pembuatan buku riwayat pengobatan pasien, serta jadwal minum obat. Untuk pasien rawat inap melalui informasi dan konseling pasien masuk/keluar, DIS (Drug Information Service), TDM (Terapeutic Drug Monitoring), TPN (Total Parenteral Nutrition), Drug-Therapy Monitoring, Drug Therapy Management, dsb.
Pelayanan asuhan kefarmasian meliputi:
1. Konsultasi atau wawancara dengan pasien.
2. Assesment terapi obat pada pasien.
3. Rencana asuhan sampai mengembangkan tujuan terapi yang spesifik.
4. Edukasi pasien, rekomendasi dan rujukan.
5. Follow up pada pasien.
Untuk melaksanakan pelayanan di atas, diperlukan (Low, 1996):
1. Distribusi/dispensing perbekalan farmasi yang tepat waktu dan akurat.
2. Data pasien yang lengkap.
3. Informasi obat yang lengkap/memadai.
4. Rekaman pemberian obat yang baik dan lengkap.
Hubungan Asuhan Kefarmasian dengan UU Konsumen
Asuhan kefarmasian adalah sarana yang dapat dipakai oleh para farmasis dalam melaksanakan tugasnya melaksanakan UU Negara No. 8 tahun 1999.
Esensi Asuhan Kefarmasian
1. Penderita memerlukan obat
2. Farmasis mengindenfitikasi, menyelesaikan, dan mencegah masalah yang berhubungan dengan obat.
3. Penderita dan farmasis berkerjasama dalam menyiapkan suatu rencana asuhan kefarmasian.
Manfaat Asuhan Kefarmasian
1. Mendapat pengalaman yang lebih efisien memantau terapi obat.
2. Memperbaiki komunikasi dan interaksi antara farmasis dengan profesi kesehatan lainnya.
3. Membuat dokumentasi kaitan dengan terapi obat.
4. Identifikasi, penyelesaian, dan pencegahan masalah yang berkaitan dengan obat (DRP) yang aktual dan potensial.
5. Justifikasi layanan farmasi dan assesment kontribusi farmasi terhadap layanan pasien dan hasilnya bagi pasien.
6. Memperbaiki produktivitas farmasis.
7. Jaminan mutu dalam layanan farmasi secara keseluruhan.
8. Bahan masukan untuk membuat Klausula Baku pelayanan farmasi. (standar profesi).
Ada 11 jenis masalah yang dialami penderita berhubungan dengan obat (DRP) yang memerlukan peran farmasis, (ASHP 1994-1995; Low, 1996 dan Winslade dkk, 1996; Nau dan Brushwood, 1998), dan merupakan implementasi dari pelaksanaan UU Negara No. 8, antara lain:
1. Pasien memerlukan obat, tetapi indikasi kurang tepat (Untreat ed indications).
2. Pasien memerlukan terapi obat, tetapi mendapat obat yang indikasinya tidak ada (Medication use without indication).
3. Pasien memerlukan terapi obat, tetapi mendapat obat/produk yang salah (improper drug dosage).
4. Pasien memerlukan terapi obat dan menerima dosis obat yang kurang (sub therapeutic dosage).
5. Pasien memerlukan terapi obat, tetapi mendapat dosis obat yang berlebihan (overdose) sehingga takut terjadi keracunan.
6. Pasien tidak menggunakan obat karena alasan kepatuhan, ekonomi, dan avaibilitas (failure to receive medication).
7. Pasien mendapat terapi obat, tetapi mengalami efek samping obat/alergi.
8. Pasien mendapat obat, tetapi kemungkinan ada interaksi obat-obatan, obat hasil, obat-makanan, obat-obat tradisional.
9. Kepatuhan pasien (patient compliance)
10. Pemilihan obat yang ekonomis (mis: obat generik)
11. Kenyamanan pasien.
Manfaat pelayanan asuhan kefarmasian
Beberapa peneliti melaporkan bahwa manfaat asuhan kefarmasian antara lain:
1. Mencegah terjadinya masalah yang dikaitkan dengan obat (Drug Related Problem/Drug Related Morbidity and Mortality).
2. Memperbaiki hasil klinis dari terapi obat.
3. Menurunkan angka lamanya penderita dirawat (ALOS).
4. Menurunnya biaya perawatan (Hepler dan Strand, 1990).
5. Perlindungan terhadap pasien dari kesalahan pemakaian obat.
Hubungan Antara Pelayanan Farmasi Satu Pintu dengan Asuhan Kefarmasian
Salah satu cara untuk memudahkan pelayanan asuhan kefarmasian yang komprehensif adalah melalui pelayanan farmasi satu pintu. Misalnya, dalam sistem Unit Dose Dispensing (UDD) bagi pasien rawat inap, dilaksanakan kounseling dan edukasi/informasi obat serta monitoring efek samping obat (MESO). Cara ini juga memungkinkan konsultasi bagi penderita rawat jalan melalui komunikasi telpon/fax/email. Beberapa rumah sakit di Indonesia sudah ada yang menerapkan pelayanan asuhan kefarmasien (RS Fatmawati, RS DR. Soetomo). Namun, jangkauan pelayanan asuhan kefarmasian masih terbatas, misalnya hanya sampai konseling dan pemberian informasi obat, belum rutin setiap hari memonitor penggunaan obat oleh pasien di ward/ruang.
Kini, sudah waktunya para farmasis di rumah sakit dan di komunitas dapat mengembangkan pelayanan asuhan kefarmasian sehingga akan memberikan manfaat yang lebih besar bagi pasien dan memberikan pengalaman profesional asuhan kefarmasian yang dapat memajukan dan mengharumkan nama farmasis di kalangan kesehatan dan masyarakat atau pasien. Anderson (1999) menyatakan perkembangan asuhan kefarmasian dalam manajemen berbagai penyakit, misalnya penyakit infeksi, pernapasan, endokrin, nyeri, psikiatri, dll. Farmasis akan lebih bertanggung jawab dan menyadari pentingnya keterlibatan dalam tim kesehatan yang potensial bersama dokter dan perawat serta ahli gizi. Inilah saat yang tepat untuk dikembangkan satu tim pelayanan kesehatan di rumah sakit, terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, dan farmasis untuk menggarap pasien di ruangan/ward dalam rangka perlindungan pasien dari kesalahan pengobatan.
Asuhan kefarmasian akan memberikan nilai tambah bagi yang terlibat dan sangat diperlukan dalam pengembangan rumah sakit Swadana/Perusahaan Jawatan/BUMD dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit menyongsong era pasar bebas Asia Pasifik (AFTA) nantinya.
Kendala-Kendala di Lapangan
a. Farmasis
Ketidaksiapan dari tenaga farmasis untuk terjun di lapangan karena pembekalan ilmu yang kurang. Hal ini dapat diantisipasi dengan pendidikan formal bidang Farmasi Klinik, seminar, mengikuti pendidikan apoteker berkelanjutan yang diorganisir oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia melalui pelatihan atau kursus yang berkaitan dengan farmasi klinik. Di samping itu, juga pengiriman pelatihan, kursus singkat oleh rumah sakit yang bersangkutan.
b. Pelayanan farmasi satu pintu
Berdasarkan SK No. 13/MEN/SK/1978 tentang Perbekalan Farmasi, yang termasuk perbekalan farmasi adalah obat, BAKHP, bahan laboratorium, radiologi, alat kesehatan/kedokteran, dan gas medik. Bila dikaitkan dengan SK Dirjen Yanmed No. 0428 YANMED/RSKS/SK/89 pada bagian kedua adalah sebagai berikut:
1. Instalasi farmasi adalah penanggung jawab atas pengelolaan obat dan BAKHP di rumah sakit, berkewajiban dan harus mampu mengelola perbekalan farmasi berdaya guna dan berhasil guna.
2. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat ayat 1 maka pengadaan obat dan BAKHP didasarkan atas prosedur perencanaan yang baik. Dalam menyusun rencana pengadaan dan pengelolaan perbekalan farmasi, instalasi farmasi rumah sakit menggunakan pemakaian perbekalan farmasi yang berasal dari semua unit dan instalasi rumah sakit.
3. Untuk dapat melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelayanan perbekalan farmasi di rumah sakit maka pelayanan perbekalan farmasi harus melalui satu pintu.
4. Dengan sistem satu pintu, sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3), maka unit distribusi instalasi farmasi rumah sakit (apotek rumah sakit) secara bertahap harus difungsikan sepenuhnya sebagai satu-satunya unit distribusi yang berkewajiban melaksanakan pelayanan obat dan bahan alat habis pakai di rumah sakit.
Namun, kenyataan di sejumlah rumah sakit pemerintah, terutama di rumah sakit tipe A, B pendidikan dan non-pendidikan, pelaksanaan ini agak sulit karena kebijakan pemerintah (Depkes) pada tahun-tahun sebelumnya berbeda. Akibatnya, beberapa rumah sakit yang tidak melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu dan terlanjur mengadakan kerjasama dengan apotek pihak ketiga, sulit memutuskan perjanjian kerjasamanya setelah peraturan pelayanan satu pintu di rumah sakit dikeluarkan (1989). Kebanyakan rumah sakit menyadari bahwa hal tersebut bertentangan dengan persyaratan standar akreditasi rumah sakit di samping pada umumnya rumah sakit pemerintah sebenarnya kekurangan dana untuk membiayai operasionalnya. Bantuan dana kesehatan pemerintahan hanya 50--60% dari anggaran rumah sakit. Salah satu revenue center rumah sakit adalah instalasi farmasi (40--70% dari anggaran rumah sakit). Dapat diprediksikan besarnya pemasukan rumah sakit yang diserahkan kepada apotek pihak ketiga. Padahal, sebenarnya hal tersebut dapat dikelola menjadi pemasukkan rumah sakit seluruhnya.
Perlu suatu kebijaksaan yang jelas dan tegas dari pemerintah mengenai kerjasama rumah sakit pemerintah dengan apotek pihak ketiga dan sejauh mana keberadaan apotek pihak ketiga di rumah sakit menunjang pelayanan farmasi klinik serta asuhan kefarmasian dalam rangka perlindungan konsumen. Bagaimana sikap pimpinan rumah sakit? Yang jelas, keberadaannya bertentangan dengan persyaratan standar akreditasi rumah sakit untuk pelayanan farmasi dan mengurangi pemasukan rumah sakit. Siapakah yang bertanggung jawab bila terjadi kesalahan obat? Apakah apoteker dari apotek pihak ketiga atau apoteker di bawah instalasi farmasi? Siapa yang akan mengontrol peresepan yang masuk ke apotek pihak ketiga dalam rangka perbaikan formularium rumah sakit, pedoman diagnosa dan terapi serta monitoring efek samping obat. Siapakah yang akan melaksanakan visite/konsultasi farmasi di ward secara rutin dalam rangka perlindungan pasien dari kesalahan obat. Bila pelaksanaan tersebut tetap dikehendaki menjadi tanggung jawab apoteker dari instalasi farmasi maka rumah sakit tidak perlu mengadakan kerjasama dengan apotek pihak ketiga. Tetapi, mencukupkan dan meningkatkan mutu SDM farmasi dalam bidang manajemen barang/uang dan farmasi klinik (jumlah tenaga apoteker di rumah sakit 15% dari tenaga medis: dokter, dokter spesialis, dan dokter gigi).
Dengan mengoptimalkan instalasi farmasi melalui pelayanan farmasi satu pintu maka seluruh pendapatan instalasi farmasi menjadi pendapatan rumah sakit yang dapat dimanfaatkan untuk menutupi biaya operasional rumah sakit dan peningkatan mutu SDM. Selain itu, pelaksanaan perlindungan konsumen dapat dilaksanakan lebih efektif sehingga memenuhi standar akreditasi rumah sakit.
c. Kebijakan pimpinan rumah sakit
Pada umumnya, rumah sakit di Indonesia sangat jarang menempatkan farmasisnya di ward/ruangan/bangsal. Namun, dengan berkembangnya sistem Unit Dose Dispensing (UDD) dan asuhan kefarmasian, farmasis harus siap masuk ward dan berinteraksi serta bekerja sama dengan dokter, perawat, dan ahli gizi. Untuk menunjang program ini, sangat perlu sekali kebijaksanaan pimpinan rumah sakit untuk mengkondisikan farmasis masuk ward/ruangan di rumah sakit.
d. Tarif visite/konsultasi farmasi
Seperti pelayanan lainnya yaitu visite dokter atau konsultasi gizi yang mempunyai tarif, visite farmasi juga perlu diperjuangkan tarifnya. Mungkin ini dapat mengurangi keengganan apoteker belajar dan meningkat ilmunya (farmasi klinik).
e. Pusat informasi obat
Untuk melaksanakan asuhan kefarmasian, perlu perpustakaan yang cukup dan informasi obat yang terbaru sesuai dengan perkembangan obat yang beredar di pasaran. Selama ini informasi obat banyak diperoleh dari detailman/representative pabrik obat yang bersangkutan di mana informasinya tidak akurat (cenderung promotif). Untuk memperoleh informasi baru, akurat, dan terpercaya, diperlukan biaya yang mahal untuk mengadakan jurnal, teksbook, program internet, dll. Salah satu caranya dengan mengoptimalkan fungsi instalasi farmasi rumah sakit melalui pelayanan satu pintu sehingga sebagian dari surplusnya dapat dipakai untuk mengembangkan pusat informasi obat. Pusat informasi obat ini hal yang sangat vital untuk rumah sakit pendidikan.
f. Klausula baku
Belum diciptakan klausula baku dalam memberikan pelayanan jasa di bidang kesehatan/farmasis oleh kalangan pemberi jasa kesehatan/farmasis. Artinya, ada standar baku/standar profesi yang diciptakan oleh para pemberi jasa di bidang kesehatan/farmasi. Dengan demikian, apabila ada tuntutan konsumen/pasien yang dapat menirukan apakah ada pelanggaran terhadap hak konsumen/pasien, terlebih dahulu kasus tersebut harus dilimpahkan ke para ahli di bidang kesehatan, yaitu majelis pertimbangan profesi. Majelis ini menilai apakah pelayanan pemberi jasa kesehatan/farmasi sudah melakukan kesalahan, khususnya yang melanggar klausula baku yang telah ditentukan. Bila pelayanan pemberi jasa sudah dilakukan dengan hati-hati dan teliti serta berdasarkan standar profesi maka apapun hasilyang diperoleh tenaga kesehatan/farmasi yang melayani dan rumah sakit tidak dapat dipersalahkan.
Kesimpulan
1. Pelayanan asuhan kefarmasian merupakan sarana dan implementasi dari UU No. 8 tanhun 1999 tentang perlindungan konsumen/pasien terhadap kesalahan obat.
2. Pelayanan asuhan kefarmasian adalah sarana untuk memantau kepatuhan para penulis resep yang berdampak pada perampingan jenis item obat yang sama dan harus disediakan di rumah sakit untuk efisiensi dana.
3. Peran profesi farmasis yang langsung kepada pasien memberikan manfaat meningkatkan kualitas hidup pasien, menurunkan biaya obat, dan meningkatkan kualitas SDM, terutama bagi farmasisnya sehingga farmasis lebih profesional menjalankan profesi dan lebih percaya diri.
Daftar Pustaka:
1. J. Guwandi, Hukum Rumah Sakit. IRSJAM KE XIII Tahun 1989
2. Rangkuman Pelatihan Apoteker Pengelola Apotek. Dit.Jen POM Depkes Rl, 1999
3. Lima Undang Undang Republik Indonesia Tahun 1999 Jakarta. Hal 3-17
4. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Kesehatan. Depkes Rl
5. Rangkuman Diskusi Panel Peningkatan Pelayanan Pharmaceutical Care melalui Pelayanan Satu Pintu di Rumah Sakit Surabaya, 2 Agustus 2000.
6. Loeby Loqman, Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Hubungan Tenaga Kesehatan-Konsumen/Pasien. IRSJAM Edisi ke-51 Tahun 2000, hal: 5,6
***
1 komentar:
INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA
Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan
demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha.
Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska
justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal
di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku
Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi
melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak
'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'. Maka benarlah statemen KAI : "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap". Bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah sangat jauh terpuruk sesat dalam kebejatan. Quo vadis hukum Indonesia?
David
(0274)9345675
Posting Komentar