Kamis, 16 Desember 2010

Sebuah Kata....

Tingkat daya saing Sumber Daya Manusia Indonesia dilingkungan ASEAN berada di level bawah setingkat diatas negara yang baru merdeka Timor Lorosae. Menurut laporan World Competitiveness Yearbook (2004), Indonesia berada diperingkat 55 sementara Singapura berada diperingkat 2, Malaysia peringkat 16, Thailand peringkat 29 dan Filipina peringkat 52. Apa kaitannya laporan tersebut dengan kualitas lulusan Perguruan Tinggi dalam hal ini kita titik beratkan pada lulusan Akademi Farmasi (ahli madya farmasi). Di Indonesia, AKFAR walaupun akademinya masih baru muncul 10 tahun belakangan ini, lulusannya sebenarnya masih bisa memegang peran penting sebagai sarana bagi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia di bidang kesehatan. Untuk itu mengapa para lulusan AKFAR disamping harus punya kemampuan kognitif Indeks Prestasi Komulatif (IPK) tinggi juga harus meningkatkan sikap dan perilaku (soft skill) yang dimilikinya agar sesuai dengan kebutuhan pasar kerja di lapangan yang semakin ketat. Sikap dan perilaku disini mliputi kejujuran, percaya diri, motivasi yang tinggi, kemampuan beradaptasi dengan perubahan, kompetensi interpersonal dan orientasi nilai yang menunjukkan kinerja yang efektif.

Sikap jujur mampu membuat seseorang berani menyampaikan sesuatu sesuai dengan kenyataannya. Kejujuran memungkinkan seseorang untuk mengevaluasi diri dengan baik karena berani mengakui kekurangan dan siap untuk memperbaikinya.

Disisi lain, kejujuran akan menjadikan seseorang mampu menyatakan kelebihannya. Semua perilaku yang didasari oleh kejujuran sangat mendukung kepercayaan diri seseorang. Percaya diri disini adalah keyakinan seseorang pada kemampuannya untuk menyelesaikan tugas dan menghadapi tantangan. Agar mampu memnghadapi tantangan itu, maka seseorang harus mempunyai motivasi yang tinggi. Dengan motivasi yang tinggi tersebut, seseorang akan mudah untuk beradaptasi dengan segala perubahan. Jika semua sikpa dan perilaku yang tersebut diatas ada pada diri seseorang, sebenarnya dia telah mempunyai kompetensi interpersonal yang tinggi.

Jika semua hal tersebut diatas ada pada diri para lulusan AKFAR (ahli madya farmasi) bisa dipastikan bahwa mereka akan bisa menunjukkan kinerja yang efektif. Sikap ndan perilaku yang berkualitas seperti ini secara statistik merupakan jaminan kesuksesan para ahli madya farmasi dalam menghadapi ketatnya persaingan pasar kerja diantara lulusan SMF dan para sarjana Farmasi dilahan yang dapat dikatakan sama. Diantara lulusan SMF dan para sarjana Farmasi masih ada sesuatu tempat dan kondisi bagi para ahli madya farmasi. Tempat dan situasi tersebut kalau memang bisa memanfaatkan dengan baik bukanlah sesuatu yang menjepit para ahli madya farmasi tetapi merupakan celah yang semestinya harus dianggap sebagai tempat atau celah yang memberi kesempatan dan peluang ahli madya farmasi (lulusan AKFAR) untuk berperan sebaik mungkin dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia secara menyeluruh. Memang untuk menunjukkan eksistensi ahli madya farmasi sangat diperlukan suatu wadah untuk menyatukan sikap dan semangat agar para pengguna, industriawan dan pasar kerja dapat menyedot lulusan AKFAR (ahli madya farmasi secara optimal. Dan harus disadari sebagai wadah ikatan suatu profesi yang juga relatif baru sangat diperlukan perjuangan dengan semangat tinggi agar kiprah dan keberadaan ikatan profesi ahli madya dapat diketahui dan dipercayai secara luas oleh masyarakat.

Kamis, 07 Oktober 2010

IKA ALUMNI D3 FARMASI


Mengikuti kemajuan dan tuntutan masyarakat akan pelayanan di bidang farmasi, maka pada tahun 1996, pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan RI, menerbitkan aturan untuk pendirian Akademi Analis Farmasi dan Makanan. Disusul tahun 1997, untuk Akademi Farmasi. Dengan aturan ini, diharapkan SMF-SMF yang ada harus segera dikonversikan menjadi salah satu dari dua akademi di atas.
Pengkonversian di atas bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan di bidang farmasi. Seiring dengan percepatan kemajuan ilmu pengetahuan, maka disiplin ilmu farmasi juga mengalami kemajuan yang luar biasa. Selain muncul merek-merek obat baru, juga banyak ditemukan jenis-jenis produk farmasi baru. Di sisi lain, tingkat pendidikan masyarakat secara umum juga mengalami peningkatan yang tidak ada bandingya dengan masa sebelumnya. Masyarakat yang relatif literated ini tentu tidak lagi memadai jika hanya dilayani oleh tingkat SLTA (SMF) saja.
Dua kecenderungan di atas, melahirkan sebuah kesimpulan bahwa tantangan yang demikian berat tidak mungkin mampu dipikul oleh lulusan SLTA (SMF). Diperlukan tenaga yang lebih handal dan lebih matang dari segi usia, pengetahuan, dan ketrampilan. Maka tidak ada jalan lain kecuali menempatkan tenaga setingkat Diploma III untuk menjadi Asisten Apoteker, yang sebelumnya “dijabat” oleh lulusan SMF.
Niatan pemerintah untuk meningkatkan SDM di kefarmasian ini, tampaknya tidak main-main. Beberapa langkah yang mendukung kebijakan ini telah diambil. Sebagai misal, di instalasi farmasi rumah sakit. Tingkat akreditasi sebuah rumah sakit akan lebih baik bilamana tenaga asisten apotekernya adalah lulusan Diploma III, dibandingkan jika asisten apotekernya lulusan SMF.
Di samping itu, di dorong oleh tingkat kesadaran masyarakat yang makin meningkat, pemerintah menghimbau kepada apotek-apotek untuk memberikan layanan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat mengenai kefarmasian. Jadi, apotek tidak lagi sekedar penerima resep dokter dan penjual obat saja. Dia juga harus memberi informasi dan edukasi kepada masyarakat konsumen.
Tugas memberi layanan KIE ini tampaknya sebagai keharusan untuk saat ini. Dewasa ini perkembangan di bidang farmasi sangat luar biasa. Obat-obat baru, baik merek maupun jenisnya, bermunculan. Sementara, masyarakat kita sangat awam di bidang ini. Maka tak heran jika mereka sering menjadi “korban” akibat keawaman mereka. Sudah menjadi rahasia umum, jika para pasien sering “diplokotho” dokter-dokter yang tidak mengenal belas kasihan. Para pasien “diharuskan” membeli resep-resep mahal tanpa mereka bisa berdaya. Padahal, andaikata mereka mengerti, mereka bisa membeli obat sejenis dengan harga jauh lebih murah dan berkhasiat sama. Bahkan lebih mengenaskan lagi, para pasien terkadang diharuskan membeli obat yang sebetulnya tidak begitu mereka perlukan.
Hal seperti itu tidak akan terjadi bilamana apotek benar-benar melaksanakan pelayanan KIE ini. Jika timbul masalah-masalah yang berkenaan dengan obat-obatan, apotek mestinya bisa menjadi tempat konsultasi bagi para pasien tadi. Di negara-negara yang sudah maju, seperti di Singapura, para pasien bahkan bisa langsung berkonsultasi dengan apoteker di apotek mengenai obat-obatan yang dibutuhkan bagi mereka yang telah memahami penyakitnya. Hal ini bisa terjadi jikalau para apoteker aktif berada di apotek. Namun oleh karena kebanyakan sang apoteker jarang hadir diapotek, maka mustahil bagi masyarakat memperoleh layanan KIE ini.
Akibat ketidak-hadiran apoteker di apotek, apotek biasanya hanya “ditunggui” oleh tenaga asisten apoteker lulusan SLTA saja. Padahal, tidak mungkin layanan tersebut dilimpahkan kepada mereka. Karena dari segi pendidikan, mereka tidak disiapkan untuk tugas ini. Kalau toh harus dipaksa, hasilnya tentu tidak akan maksimal.
Pada “celah” ini barangkali para ahli madya farmasi bisa mengambil peran yang tepat. Selain dari segi usia bisa dianggap cukup, dari segi pendidikan mereka juga memperoleh materi-materi kuliah yang relevan dengan tugas tersebut.
Pada dunia industri farmasi, ada sisi menarik yang perlu dilirik. Dewasa ini, saat perekonomian bangsa berada pada titik morat-marit, pemerintah menggalakkan obat-obatan tradisional. Selain harganya murah, efek sampingnya pun minimal. Tak pelak, himbaun ini disambut hangat kalangan industriawan. Dalam waktu relatif singkat, sudah ribuan industri obat tradisional muncul. Ini tentu merupakan fenomena yang melegakan.
Namun dibalik fenomena itu, ada sesuatu yang memprihatinkan. Dari sekian ribu industri obat tradisional yang ada, hanya segelintir saja yang benar-benar dikelola secara profesional dan memenuhi kaidah-kaidah kefarmasian. Sisanya, terdiri atas industri-industri kecil, bahkan home industri, yang ditangani oleh orang-orang yang awam di bidang kefarmasian.
Masih segar dalam ingatan kita, betapa beberapa waktu lalu terjadi “pembredelan” terhadap industri-industri jamu yang melakukan “kecurangan”. Untuk memperoleh khasiat yang ampuh, mereka tak segan mencampurkan obat-obatan yang justru berbahaya jika dipakai tidak semestinya, misalnya dextamethason.
Hal semacam itu tidak akan terjadi andaikata ada apoteker di sana. Apoteker ini akan mengelola proses produksi dengan baik sekaligus menangani kontrol kualitasnya. Namun sayang seribu sayang, tidak banyak apoteker yang tertarik berkecimpung di bidang ini. Kita belum bisa menebak penyebabnya secara pasti; apakah dari kalangan industri atau dari pihak apotekernya. Artinya, apakah kalangan industri kecil ini yang merasa “masih belum mampu” menggunakan apoteker atau malah apotekernya yang memang enggan wal gengsi terjun di bidang ini.
Apapun penyebabnya, yang pertama kali dirugikan adalah masyarakat konsumen. Apabila proses pembuatan produk obat tradisional ini tidak benar secara farmasi, maka tentu akan membawa side efect bagi usernya. Selain itu, dengan tidak dikelola oleh ahlinya, maka dalam jangka panjang, akan sulit bagi industri-industri ini untuk bisa berkembang dengan baik. Realitas ini, jika dicermati dengan sungguh-sungguh, sesungguhnya memberi kesempatan dan peluang bagi para ahli madya farmasi untuk mengambil tempat dan peran sebaik mungkin. Ditinjau dari pihak industriawan, gaji mereka tentu masih berada di bawah apoteker, sehingga tidak terlalu memberatkan bagi industri-industri kecil yang baru berkembang.

Wadah Perjuangan
Di Indonesia, eksistensi ahli madya farmasi ini masih relatif baru. Karena, akademinya saja baru muncul sekitar 1996/1997. Belum banyak lulusan yang dihasilkan. Karenanya, bukan hal aneh jika para user tidak banyak melirik keberadaan mereka. Artinya, sebagai tenaga ahli madya, orang belum tahu sampai seberapa jauh kompetensi mereka, lalu bisa didaya-gunakan dimana mereka ini, bahkan mungkin para user tidak mengetahui kalau mereka ada.
Satu hal lagi yang perlu dipahami bersama, meski memberi dukungan seperti dijelaskan di atas, pemerintah “belum berani secara tegas” memaksa SMF-SMF mengkonversikan diri menjadi akademi. Hal ini mengakibatkan posisi ahli madya farmasi maupun analis farmasi dan makanan memang berada dalam keadaan “terjepit”. Ia harus berjuang mendapatkan pekerjaan di antara dua kalangan yang memiliki “wilayah” kerja yang sama, yakni lulusan SMF dan sarjana farmasi atau apoteker yang telah sangat di kenal masyarakat.
Untuk memantapkan keberadaan mereka di arena bursa kerja dan “merebut” wilayah-wilayah kerja yang dimungkinkan menjadi “hak” mereka, tentu tidak bisa diperjuangkan secara perorangan. Mereka harus bekerja bersama-sama bahu membahu. Untuk itu diperlukan wadah ikatan profesi bagi mereka. Apapun namanya, yang jelas wadah tersebut harus mampu mewadahi kedua profesi, yakni ahli madya farmasi dan ahli madya analis farmasi dan makanan. Melalui wadah ini, dimungkinkan perjuangan mereka menjadi jelas dan tegas.
Dengan wadah ini, masyarakat akan segera mengetahui dan mempercayai keberadaan mereka. Selain itu, sebagai wadah para profesional di bidang farmasi, ikatan profesi ini akan mewadahi para anggotanya untuk terus-menerus meningkatkan diri dalam mengikuti perkembangan di bidang ilmu farmasi.

http://rohadieducation.wordpress.com/2007/06/16/ikatan-profesi-ahli-madya-farmasi/

Senin, 22 Maret 2010

Konfirmasi....

Berhubung karena adanya pesan dari saudara kita bahwa blog ini (Ika Farmasi Poltekkes Makassar) telah di hacker...Maka Pengurus menyatakan bahwa blog ini tetap aman dan terkendali...Teman-teman harus melihat dengan baik..jika search di Gogle dengan keyword :"ikafarmasi poltekes...maka akan muncul dua situs.....
Yang pertama itu adalah bukan situs kita tapi situs "motivasidiri.net" yang di buat oleh orang yang tidak bertanggung jawab...
Yang kedua adalah situs resmi kita.....yang asli dan tidak pernah di hacker.....(masalahnya yang urus adalah master of hacker..he..he...)....jadi tidak akan di hacker...
Teman-teman yang search blog ini..harap memperhatikan dengan jelas alamat situsnya di sebelah atas...supaya tidak salah paham.....
Salam Farmasi Bajigau....

Rabu, 04 Maret 2009

Perlindungan Pasien Melalui Pelayanan Asuhan Kefarmasian di Rumah Sakit Pemerintah


BY YUSMAINITA

Pendahuluan
Menyongsong AFTA 2003 dan diberlakukannya UU RI No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan berkembangnya iptek serta pelayanan rumah sakit yang semakin kompleks, rumah sakit harus dimasuki unsur hukum untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban, tanggung jawab, serta risiko rumah sakit. Dengan demikian, rumah sakit dapat mengadakan transaksi seperti lazimnya sebuah lembaga usaha (membuat perjanjian jual beli, mempunyai rekening bank, melakukan penagihan, dan sebagainya). Sampai di mana tanggung jawab rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan? Peralatan apa yang minimal harus ada di bagian-bagian tertentu di rumah sakit?
Menurut literatur, hampir 80% dari kasus tuntutan malpraktik terjadi di rumah sakit. Bila ada tuntutan mengenai kejadian di rumah sakit, siapa yang harus dituntut? Dokternya, perawatnya, atau farmasisnya. Seberapa jauh rumah sakit bertanggung jawab secara perdata? Diperlukan suatu pengaturan dan peraturan yang jelas mengenai tanggung jawab masing-masing profesi yang terlibat perawatan pasien. Misalnya dokter, perawat, farmasis, dan ahli gizi.
Seandainya seorang pasien yang keracunan obat diduga akibat
pemakaian obat yang terlalu lama (terkumulasi) sementara efek samping obat tersebut lambat (delay) sehingga meninggal, siapakah yang bertanggung jawab? Apakah dokter saja atau dokter dan farmasis? Apakah wajar saat ini hal tersebut dituntut ke farmasis sementara peran farmasis di rumah sakit cenderung hanya menangani hal-hal yang bersifat administrasi dan manajemen barang/perbekalan. Farmasis sangat jarang dilibatkan dalam melayani/merawat pasien di ward/ruangan (farmasi klinik).

Latar Belakang
Hubungan hukum antar tenaga kesehatan (apoteker, dokter) menjadi perbincangan setelah dikeluarkan UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Secara rinci, UU Perlindungan Konsumen memberikan pengaturan tentang hak serta kewajiban, baik bagi pemberi jasa maupun pengguna jasa. Dengan demikian, perlu dilakukan pengkajian terhadap pemberi jasa di bidang kesehatan/farmasis, karena sifatnya khusus dan teknis serta tidak dapat diketahui oleh sembarang orang. Memamg, dalam dunia kesehatan terdapat standar profesi. Akan tetapi, tentunya setiap individu mempunyai kekhususan. Hal inilah yang menyebabkan adanya kekhususan terhadap hubungan antara pemberi jasa kesehatan dengan pengguna jasa. Demikian pula terhadap pemberi jasa di rumah sakit.
Meskipun tujuan pemberian jasa sama, yakni berusaha melakukan tindakan sebaik-baiknya untuk menyembuhkan pengguna jasa, namun setiap rumah sakit mempunyai standar yang berbeda. Sekalipun pelayanan kesehatan mempunyai kekhususan, harus ada ukuran rata-rata, termasuk pelayanan di rumah sakit. Peranan farmasis pada masa mendatang tidak lagi cukup dengan mengelola obat sebagai barang, melainkan harus pula ikut berperan aktif dalam proses sakit dan sembuh pasien, melalui kompetisi profesional dalam proses kefarmasian Ahaditomo (1991). Hepler dan Strand (1990) dalam tulisannya yang berjudul "Opportunities and Responsibilities in Pharmaceutical Care" mendiskusikan manfaat profesi farmasis untuk menurunkan Drug Related Morbidity and Mortality (DRMM). Mereka mengemukakan bahwa ada 3 periode perkembangan farmasi, yaitu: a. Tradisional, dimana farmasis menyediakan, membuat, dan mengevaluasi produk. b. Transisi, pelayanan farmasi klinik dikembangkan (inilah yang sedang dikembangkan rumah sakit di Indonesia dalam rangka perlindungan konsumen/pasien).
c. Rawatan pasien (terjadi perubahan dari orientasi obat ke pasien). Jadi, pada periode terakhir pasien merupakan objek yang terkait dengan penurunan angka kelahiran dan kematian yang dikaitkan dengan obat. Selanjutnya, Hepler dan Strand menyatakan bahwa tanggung jawab profesi farmasi dalam terapi obat dengan tujuan mencapai hasil yang baik dan memperbaiki kulaitas hidup pasien diberi nama "Asuhan Kefarmasian" (Low, 1996).
Berlakunya UU Negara No. 8 tahun 1999 dan berkembangnya pelayanan farmasi yang mengarah pada asuhan kefarmasian (farmasi klinik), merupakan peluang dan tantangan untuk farmasis di Indonesia. UU ini menjadi peluang bagi farmasis untuk menunjukkan eksistensinya di bidang profesi kefarmasian karena selama ini peran tenaga farmasis lebih banyak sebagai tenaga manajemen. Namun, UU ini juga sekaligus menjadi tantangan karena perlu banyak belajar lagi akibat kurangnya kesipan para farmasis, yang dilatarbelakangi oleh sistem pendidikan apoteker di Indonesia yang sangat minim mengarah pada farmasi klinik. Selain itu, juga keengganan para farmasis menambah ilmu di bidang farmasi klinik karena peran farmasis di rumah sakit hanya menyediakan, membuat, dan mengevaluasi produk. Mereka kurang berperan dalam monitoring penggunaan obat di ward/ruangan. Bila bekerja di apotek (swasta) mereka sebagai Apoteker Pengelola Apotik (APA). Kehadirannya di apotek untuk memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kepada pasien, cukup rendah. Beban dan tanggung jawab ini banyak dilaksanankan oleh asisten apoteker atau PSA (Pemilik Sarana Apotek), kecuali PSA adalah apoteker yang bersangkutan. Hal itu tidak memacu apoteker untuk mendalami bidang farmasi klinik.
Di samping itu, tarif jasa pelayanan visite farmasi/konsultasi farmasi di rumah sakit masih dalam perjuangan untuk masuk dalam tarif Perda. Penghargaan dari pelayanan farmasis secara umum di Indonesia masih sebatas pada jasa manajerial dan teknis kefarmasian (peracikan obat), belum pada profesi kefarmasian/farmasi klinik.

Hukum Rumah Sakit (Hospital Low)
Rumah sakit sebagai unit pelayanan kesehatan banyak mempekerjakan SDM (medik, para medik, administrasi, dan teknis). Semuanya bertanggung jawab kepada atasannya. Sebaliknya, rumah sakit secara yuridis pun harus mempertanggungjawabkan sikap/tindakan semua orang yang turut terlibat dalam organisasi rumah sakit. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1367 yang berbunyi: "Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatan sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya....". Tanggung jawab rumah sakit dalam garis besarnya dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Yang menyangkut personalia, termasuk sikap-tindak atau kelalaian semua orang yang terlibat dalam kegiatan rumah sakit. 2. Yang menyangkut mutu pemberian pelayanan kesehatan (Standard of Care) di rumah sakit. 3. Yang menyangkut sarana dan peralatan yang disediakan, baik di bidang medis maupun non-medis.
Dalam pelayanan, masih ada faktor X yang tidak dapat diperhitungkan atau diduga sebelumnya, yaitu berbentuk bahaya atau risiko yang selalu melekat pada setiap tindakkan medik dan pengobatan. Walaupun sudah dilakukan dengan teliti dan hati-hati, tetapi karena daya tahan atau kondisi tubuh pasien tidak sama maka bisa timbul komplikasi. Untuk itu, diperlukan kriteria yang objektif berbentuk standar untuk menilai kasus yang terjadi. "Klausula baku" adalah istilah yang digunakan oleh UU No. 8 tahun 1999 terhadap standar pelayanan atau pemberi jasa. Dalam memberikan pelayanan jasa di bidang kesehatan, harus diciptakan klausula baku oleh kalangan pemberi jasa kesehatan. Artinya, ada standar baku yang diciptakan oleh para pemberi jasa di bidang kesehatan. Dengan demikian, apabila ada tuntutan konsumen mengenai suatu pelanggaran, terlebih dahulu harus ditentukan oleh para ahli di bidang kesehatan, yaitu Majelis Pertimbang Profesi. Majelis ini memberi pertimbangan apakah pemberi jasa kesehatan tersebut sudah melakukan kesalahan, khususnya melanggar klausula baku. Bila sudah dilakukan dengan hati-hati dan teliti serta berdasarkan standar profesi maka apapun hasilnya, tenaga kesehatan dan rumah sakit tidak dapat dipersalahkan. Inilah kekhususan hubungan antara pemberi jasa dengan pengguna jasa di bidang kesehatan. Hal ini tidak akan sama dengan hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha lain. Menurut hukum kedokteran, ada 4 bentuk risiko yang harus ditanggung oleh pasien itu sendiri, yaitu:
1. Kecelakaan (accident, mishap, mischance, misad venture)
2. Risiko pengobatan (risk of treatment)
3. Kesalahan penilaian profesional (error of clinical judgment)
4. Kelalaian pasien (contributory negligence)
Undang-Unndang Konsumen
Beberapa pasal UU Negara No. 8 RI yang erat hubungannya mengenai perlindungan konsumen/pasien dan pemberi jasa (Hak dan Kewajiban)

BAB I; Pasal 1
1. Perlindungan konsumen/pasien adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
2. Konsumen/pasien adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen/pasien.

BAB II; Pasal 2
· Perlindungan konsumen/pasien berasas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.

BAB III; Pasal 3
Perlindungan konsumen/pasien bertujuan:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
3. Mengingkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

BAB III; Pasal 4
Hak dan kewajiban konsumen/pasien
Hak konsumen adalah:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
2. Hak untuk memilih barang dan/atas jasa serta mendapat barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang diperjanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/atau jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atau barang dan/atau jasa yang digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

BAB III; Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah:
Memberi informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

BAB III; Pasal 8
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan rusak, cacat atau bekas dan tercemar dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

BAB III; Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan, diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat, pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
1. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa
2. Kegunaan barang dan/atau jasa
3. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan atau jasa.

BAB III; Pasal 13
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan atau jasa lain.

BAB V
Ketentuan pencatuman klausa baku
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan Klausula Baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakkan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan Klausula Baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
3. Setiap Klausula Baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan Klausula Baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.

Asuhan Kefarmasian
Perkembangan farmasi di rumah sakit Indonesia berjalan lambat dibanding pelayanan kesehatan lainnya, seperti pelayanan medik, perawatan, dan gizi. Farmasi lebih terlihat sebagai proses penyediaan obat sebagai barang daripada sebagai suatu pelayanan profesional. Akan tetapi, sebenarnya intervensi farmasi merupakan bagian dari proses medik (Ahaditomo 1991). Rumusan obat bagi penderita bukan lagi ada atau tidak adanya semacam obat, melainkan juga perlu diketahui apakah obat telah dipilih secara tepat indikasi, tepat dosis, tepat pasien, tepat pemberian, bebas dari interaksi obat yang berbahaya, efek samping obat terkendali, dan tepat harga, terutama bagi penderita yang kemampuan ekonominya rendah (Ahaditomo, 1991).
Asuhan kefarmasian merupakan istilah baru yang kita kenal akhir-akhir ini. Konsep asuhan kefarmasian menjadi penting karena meningkatnya biaya kesehatan dan adverse drug reactions dari obat-obat yang diresepkan. Obat menjadi lebih mahal, penggunaannya meningkat, biaya kesalahan penggunaan obat (drug misuse) meningkat, dan efek samping obat/kesalahan obat (adverse event drug misadventure) (Llyoid, 1996). Dalam etika profesi farmasi, para farmasis mempunyai kewajiban untuk melindungi pasien dari kerugiann akibat kecelakaan pemakaian obat yang merugikan. Asuhan kefarmasian adalah konsep yang melibatkan tanggung jawab farmasis yang dapat menjamin terapi optimal terhadap pasien secara individu sehingga pasien membaik dan kualitas hidupnya meningkat. Peran farmasis dalam asuhan kefarmasian di awal proses terapi adalah menilai kebutuhan pasien. Di tengah proses terapi, mereka memeriksa kembali semua informasi dan memilih solusi terbaik bagi DRP (Drug Related Problem) pasien. Di akhir proses terapi, mereka menilai hasil intervensi farmasis sehingga didapatkan hasil optimal dan kualitas hidup meningkat serta hasilnya memuaskan.
Tanggung jawab farmasis mirip dengan tanggung jawab profesi kesehatan lainnya, terutama dokter dan perawat yang langsung berhubungan dengan penderita. Tanggung jawab profesi dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu tanggung jawab sosial, tanggung jawab profesional, dan tanggung jawab terhadap penderita dengan meningkatkan asuhan kefarmasian. Tanggung jawab terhadap pasien adalah utama dan perlu dilakukan secara individu, bukan berarti tanggung jawab lainnya tidak penting.

Fungsi utama dari Asuhan kefarmasian:
1. Identifikasi aktual dan potensial masalah yang berhubungan dengan obat.
2. Menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan obat.
3. Mencegah terjadinya masalah yang berhubungan dengan obat.
4. Implementasi dari asuhan kefarmasian di rumah sakit dapat dilakukan pada pasien rawat jalan melalui informasi, konseling, dan edukasi untuk obat bebas dan obat yang diresepkan, pemberian label, leaflet, brosur, buku edukasi, pembuatan buku riwayat pengobatan pasien, serta jadwal minum obat. Untuk pasien rawat inap melalui informasi dan konseling pasien masuk/keluar, DIS (Drug Information Service), TDM (Terapeutic Drug Monitoring), TPN (Total Parenteral Nutrition), Drug-Therapy Monitoring, Drug Therapy Management, dsb.

Pelayanan asuhan kefarmasian meliputi:
1. Konsultasi atau wawancara dengan pasien.
2. Assesment terapi obat pada pasien.
3. Rencana asuhan sampai mengembangkan tujuan terapi yang spesifik.
4. Edukasi pasien, rekomendasi dan rujukan.
5. Follow up pada pasien.

Untuk melaksanakan pelayanan di atas, diperlukan (Low, 1996):
1. Distribusi/dispensing perbekalan farmasi yang tepat waktu dan akurat.
2. Data pasien yang lengkap.
3. Informasi obat yang lengkap/memadai.
4. Rekaman pemberian obat yang baik dan lengkap.
Hubungan Asuhan Kefarmasian dengan UU Konsumen
Asuhan kefarmasian adalah sarana yang dapat dipakai oleh para farmasis dalam melaksanakan tugasnya melaksanakan UU Negara No. 8 tahun 1999.

Esensi Asuhan Kefarmasian
1. Penderita memerlukan obat
2. Farmasis mengindenfitikasi, menyelesaikan, dan mencegah masalah yang berhubungan dengan obat.
3. Penderita dan farmasis berkerjasama dalam menyiapkan suatu rencana asuhan kefarmasian.
Manfaat Asuhan Kefarmasian
1. Mendapat pengalaman yang lebih efisien memantau terapi obat.
2. Memperbaiki komunikasi dan interaksi antara farmasis dengan profesi kesehatan lainnya.
3. Membuat dokumentasi kaitan dengan terapi obat.
4. Identifikasi, penyelesaian, dan pencegahan masalah yang berkaitan dengan obat (DRP) yang aktual dan potensial.
5. Justifikasi layanan farmasi dan assesment kontribusi farmasi terhadap layanan pasien dan hasilnya bagi pasien.
6. Memperbaiki produktivitas farmasis.
7. Jaminan mutu dalam layanan farmasi secara keseluruhan.
8. Bahan masukan untuk membuat Klausula Baku pelayanan farmasi. (standar profesi).
Ada 11 jenis masalah yang dialami penderita berhubungan dengan obat (DRP) yang memerlukan peran farmasis, (ASHP 1994-1995; Low, 1996 dan Winslade dkk, 1996; Nau dan Brushwood, 1998), dan merupakan implementasi dari pelaksanaan UU Negara No. 8, antara lain:
1. Pasien memerlukan obat, tetapi indikasi kurang tepat (Untreat ed indications).
2. Pasien memerlukan terapi obat, tetapi mendapat obat yang indikasinya tidak ada (Medication use without indication).
3. Pasien memerlukan terapi obat, tetapi mendapat obat/produk yang salah (improper drug dosage).
4. Pasien memerlukan terapi obat dan menerima dosis obat yang kurang (sub therapeutic dosage).
5. Pasien memerlukan terapi obat, tetapi mendapat dosis obat yang berlebihan (overdose) sehingga takut terjadi keracunan.
6. Pasien tidak menggunakan obat karena alasan kepatuhan, ekonomi, dan avaibilitas (failure to receive medication).
7. Pasien mendapat terapi obat, tetapi mengalami efek samping obat/alergi.
8. Pasien mendapat obat, tetapi kemungkinan ada interaksi obat-obatan, obat hasil, obat-makanan, obat-obat tradisional.
9. Kepatuhan pasien (patient compliance)
10. Pemilihan obat yang ekonomis (mis: obat generik)
11. Kenyamanan pasien.
Manfaat pelayanan asuhan kefarmasian
Beberapa peneliti melaporkan bahwa manfaat asuhan kefarmasian antara lain:
1. Mencegah terjadinya masalah yang dikaitkan dengan obat (Drug Related Problem/Drug Related Morbidity and Mortality).
2. Memperbaiki hasil klinis dari terapi obat.
3. Menurunkan angka lamanya penderita dirawat (ALOS).
4. Menurunnya biaya perawatan (Hepler dan Strand, 1990).
5. Perlindungan terhadap pasien dari kesalahan pemakaian obat.
Hubungan Antara Pelayanan Farmasi Satu Pintu dengan Asuhan Kefarmasian
Salah satu cara untuk memudahkan pelayanan asuhan kefarmasian yang komprehensif adalah melalui pelayanan farmasi satu pintu. Misalnya, dalam sistem Unit Dose Dispensing (UDD) bagi pasien rawat inap, dilaksanakan kounseling dan edukasi/informasi obat serta monitoring efek samping obat (MESO). Cara ini juga memungkinkan konsultasi bagi penderita rawat jalan melalui komunikasi telpon/fax/email. Beberapa rumah sakit di Indonesia sudah ada yang menerapkan pelayanan asuhan kefarmasien (RS Fatmawati, RS DR. Soetomo). Namun, jangkauan pelayanan asuhan kefarmasian masih terbatas, misalnya hanya sampai konseling dan pemberian informasi obat, belum rutin setiap hari memonitor penggunaan obat oleh pasien di ward/ruang.
Kini, sudah waktunya para farmasis di rumah sakit dan di komunitas dapat mengembangkan pelayanan asuhan kefarmasian sehingga akan memberikan manfaat yang lebih besar bagi pasien dan memberikan pengalaman profesional asuhan kefarmasian yang dapat memajukan dan mengharumkan nama farmasis di kalangan kesehatan dan masyarakat atau pasien. Anderson (1999) menyatakan perkembangan asuhan kefarmasian dalam manajemen berbagai penyakit, misalnya penyakit infeksi, pernapasan, endokrin, nyeri, psikiatri, dll. Farmasis akan lebih bertanggung jawab dan menyadari pentingnya keterlibatan dalam tim kesehatan yang potensial bersama dokter dan perawat serta ahli gizi. Inilah saat yang tepat untuk dikembangkan satu tim pelayanan kesehatan di rumah sakit, terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, dan farmasis untuk menggarap pasien di ruangan/ward dalam rangka perlindungan pasien dari kesalahan pengobatan.
Asuhan kefarmasian akan memberikan nilai tambah bagi yang terlibat dan sangat diperlukan dalam pengembangan rumah sakit Swadana/Perusahaan Jawatan/BUMD dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit menyongsong era pasar bebas Asia Pasifik (AFTA) nantinya.
Kendala-Kendala di Lapangan
a. Farmasis
Ketidaksiapan dari tenaga farmasis untuk terjun di lapangan karena pembekalan ilmu yang kurang. Hal ini dapat diantisipasi dengan pendidikan formal bidang Farmasi Klinik, seminar, mengikuti pendidikan apoteker berkelanjutan yang diorganisir oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia melalui pelatihan atau kursus yang berkaitan dengan farmasi klinik. Di samping itu, juga pengiriman pelatihan, kursus singkat oleh rumah sakit yang bersangkutan.
b. Pelayanan farmasi satu pintu
Berdasarkan SK No. 13/MEN/SK/1978 tentang Perbekalan Farmasi, yang termasuk perbekalan farmasi adalah obat, BAKHP, bahan laboratorium, radiologi, alat kesehatan/kedokteran, dan gas medik. Bila dikaitkan dengan SK Dirjen Yanmed No. 0428 YANMED/RSKS/SK/89 pada bagian kedua adalah sebagai berikut:
1. Instalasi farmasi adalah penanggung jawab atas pengelolaan obat dan BAKHP di rumah sakit, berkewajiban dan harus mampu mengelola perbekalan farmasi berdaya guna dan berhasil guna.
2. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat ayat 1 maka pengadaan obat dan BAKHP didasarkan atas prosedur perencanaan yang baik. Dalam menyusun rencana pengadaan dan pengelolaan perbekalan farmasi, instalasi farmasi rumah sakit menggunakan pemakaian perbekalan farmasi yang berasal dari semua unit dan instalasi rumah sakit.
3. Untuk dapat melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelayanan perbekalan farmasi di rumah sakit maka pelayanan perbekalan farmasi harus melalui satu pintu.
4. Dengan sistem satu pintu, sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3), maka unit distribusi instalasi farmasi rumah sakit (apotek rumah sakit) secara bertahap harus difungsikan sepenuhnya sebagai satu-satunya unit distribusi yang berkewajiban melaksanakan pelayanan obat dan bahan alat habis pakai di rumah sakit.
Namun, kenyataan di sejumlah rumah sakit pemerintah, terutama di rumah sakit tipe A, B pendidikan dan non-pendidikan, pelaksanaan ini agak sulit karena kebijakan pemerintah (Depkes) pada tahun-tahun sebelumnya berbeda. Akibatnya, beberapa rumah sakit yang tidak melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu dan terlanjur mengadakan kerjasama dengan apotek pihak ketiga, sulit memutuskan perjanjian kerjasamanya setelah peraturan pelayanan satu pintu di rumah sakit dikeluarkan (1989). Kebanyakan rumah sakit menyadari bahwa hal tersebut bertentangan dengan persyaratan standar akreditasi rumah sakit di samping pada umumnya rumah sakit pemerintah sebenarnya kekurangan dana untuk membiayai operasionalnya. Bantuan dana kesehatan pemerintahan hanya 50--60% dari anggaran rumah sakit. Salah satu revenue center rumah sakit adalah instalasi farmasi (40--70% dari anggaran rumah sakit). Dapat diprediksikan besarnya pemasukan rumah sakit yang diserahkan kepada apotek pihak ketiga. Padahal, sebenarnya hal tersebut dapat dikelola menjadi pemasukkan rumah sakit seluruhnya.
Perlu suatu kebijaksaan yang jelas dan tegas dari pemerintah mengenai kerjasama rumah sakit pemerintah dengan apotek pihak ketiga dan sejauh mana keberadaan apotek pihak ketiga di rumah sakit menunjang pelayanan farmasi klinik serta asuhan kefarmasian dalam rangka perlindungan konsumen. Bagaimana sikap pimpinan rumah sakit? Yang jelas, keberadaannya bertentangan dengan persyaratan standar akreditasi rumah sakit untuk pelayanan farmasi dan mengurangi pemasukan rumah sakit. Siapakah yang bertanggung jawab bila terjadi kesalahan obat? Apakah apoteker dari apotek pihak ketiga atau apoteker di bawah instalasi farmasi? Siapa yang akan mengontrol peresepan yang masuk ke apotek pihak ketiga dalam rangka perbaikan formularium rumah sakit, pedoman diagnosa dan terapi serta monitoring efek samping obat. Siapakah yang akan melaksanakan visite/konsultasi farmasi di ward secara rutin dalam rangka perlindungan pasien dari kesalahan obat. Bila pelaksanaan tersebut tetap dikehendaki menjadi tanggung jawab apoteker dari instalasi farmasi maka rumah sakit tidak perlu mengadakan kerjasama dengan apotek pihak ketiga. Tetapi, mencukupkan dan meningkatkan mutu SDM farmasi dalam bidang manajemen barang/uang dan farmasi klinik (jumlah tenaga apoteker di rumah sakit 15% dari tenaga medis: dokter, dokter spesialis, dan dokter gigi).
Dengan mengoptimalkan instalasi farmasi melalui pelayanan farmasi satu pintu maka seluruh pendapatan instalasi farmasi menjadi pendapatan rumah sakit yang dapat dimanfaatkan untuk menutupi biaya operasional rumah sakit dan peningkatan mutu SDM. Selain itu, pelaksanaan perlindungan konsumen dapat dilaksanakan lebih efektif sehingga memenuhi standar akreditasi rumah sakit.
c. Kebijakan pimpinan rumah sakit
Pada umumnya, rumah sakit di Indonesia sangat jarang menempatkan farmasisnya di ward/ruangan/bangsal. Namun, dengan berkembangnya sistem Unit Dose Dispensing (UDD) dan asuhan kefarmasian, farmasis harus siap masuk ward dan berinteraksi serta bekerja sama dengan dokter, perawat, dan ahli gizi. Untuk menunjang program ini, sangat perlu sekali kebijaksanaan pimpinan rumah sakit untuk mengkondisikan farmasis masuk ward/ruangan di rumah sakit.
d. Tarif visite/konsultasi farmasi
Seperti pelayanan lainnya yaitu visite dokter atau konsultasi gizi yang mempunyai tarif, visite farmasi juga perlu diperjuangkan tarifnya. Mungkin ini dapat mengurangi keengganan apoteker belajar dan meningkat ilmunya (farmasi klinik).
e. Pusat informasi obat
Untuk melaksanakan asuhan kefarmasian, perlu perpustakaan yang cukup dan informasi obat yang terbaru sesuai dengan perkembangan obat yang beredar di pasaran. Selama ini informasi obat banyak diperoleh dari detailman/representative pabrik obat yang bersangkutan di mana informasinya tidak akurat (cenderung promotif). Untuk memperoleh informasi baru, akurat, dan terpercaya, diperlukan biaya yang mahal untuk mengadakan jurnal, teksbook, program internet, dll. Salah satu caranya dengan mengoptimalkan fungsi instalasi farmasi rumah sakit melalui pelayanan satu pintu sehingga sebagian dari surplusnya dapat dipakai untuk mengembangkan pusat informasi obat. Pusat informasi obat ini hal yang sangat vital untuk rumah sakit pendidikan.
f. Klausula baku
Belum diciptakan klausula baku dalam memberikan pelayanan jasa di bidang kesehatan/farmasis oleh kalangan pemberi jasa kesehatan/farmasis. Artinya, ada standar baku/standar profesi yang diciptakan oleh para pemberi jasa di bidang kesehatan/farmasi. Dengan demikian, apabila ada tuntutan konsumen/pasien yang dapat menirukan apakah ada pelanggaran terhadap hak konsumen/pasien, terlebih dahulu kasus tersebut harus dilimpahkan ke para ahli di bidang kesehatan, yaitu majelis pertimbangan profesi. Majelis ini menilai apakah pelayanan pemberi jasa kesehatan/farmasi sudah melakukan kesalahan, khususnya yang melanggar klausula baku yang telah ditentukan. Bila pelayanan pemberi jasa sudah dilakukan dengan hati-hati dan teliti serta berdasarkan standar profesi maka apapun hasilyang diperoleh tenaga kesehatan/farmasi yang melayani dan rumah sakit tidak dapat dipersalahkan.

Kesimpulan
1. Pelayanan asuhan kefarmasian merupakan sarana dan implementasi dari UU No. 8 tanhun 1999 tentang perlindungan konsumen/pasien terhadap kesalahan obat.
2. Pelayanan asuhan kefarmasian adalah sarana untuk memantau kepatuhan para penulis resep yang berdampak pada perampingan jenis item obat yang sama dan harus disediakan di rumah sakit untuk efisiensi dana.
3. Peran profesi farmasis yang langsung kepada pasien memberikan manfaat meningkatkan kualitas hidup pasien, menurunkan biaya obat, dan meningkatkan kualitas SDM, terutama bagi farmasisnya sehingga farmasis lebih profesional menjalankan profesi dan lebih percaya diri.
Daftar Pustaka:
1. J. Guwandi, Hukum Rumah Sakit. IRSJAM KE XIII Tahun 1989
2. Rangkuman Pelatihan Apoteker Pengelola Apotek. Dit.Jen POM Depkes Rl, 1999
3. Lima Undang Undang Republik Indonesia Tahun 1999 Jakarta. Hal 3-17
4. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Kesehatan. Depkes Rl
5. Rangkuman Diskusi Panel Peningkatan Pelayanan Pharmaceutical Care melalui Pelayanan Satu Pintu di Rumah Sakit Surabaya, 2 Agustus 2000.
6. Loeby Loqman, Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Hubungan Tenaga Kesehatan-Konsumen/Pasien. IRSJAM Edisi ke-51 Tahun 2000, hal: 5,6
***
http://www.tempointeraktif.com/medika/arsip/042001/huk-1.htm

Rabu, 31 Desember 2008

berlibur ke rumah nenek


foto ini adalah bukti yang penting pada kasus habisnya jagung di rumah nenek btw kira-kira siapa yang makannya paling banyak?

bagi yang bisa menjawab akan mendapatkan hadiah yang menarik

foto ini di ambil pd saat pemilihan cover-boy majalah ikafarmasipoltekkes makassar yang sampe sekarang nggak terbit2 (kasian dech)